Wednesday 20 December 2017

Bagaimana identifikasi hadits yang menjelaskan tentang sahu


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bulan ramadhan yang identik dengan bulan suci ummat Islam telah membawa banyak hal terjadi khususnya pada bulan tersebut. Pada bulan suci tersebut, seluruh ummat Islam diwajibkan untuk ritual tahunan, yakni berpuasa. Di Indonesia sendiri, aktivitas ibadah di bulan ramadhan tidak jarang diisi dengan berbagai aktivitas kebudayaan, sesuai adat dan budaya di suatu daerah tertentu. baik berupa festival atau karnaval unik di berbagai daerah, maupun ritual penyucian diri menjelang datangnya bulan suci tersebut. Tak ketinngalan ritual makan sahur, berbuka puasa, dan sholat tarawih, berjamaah juga ikut mewarnai bulan suci ramadhan seluruh rangkaain ini akhirnya akan ditutup dengan tradisi pulang kampung halaman.
Kedatangan bulan suci ramadhan juga membawa perubahan dalam bidang ekonomi, khususnya di Indonesia hal ini sangat jelas terlihat pada saat berbuka puasa. Berbagai kios jajanan, sebagian besar merupakan pedagang musiman tampak bermunculan di pinggir jalan bak jamur di musim hujan. Satu hal ynag sangat menarik yang dapat di amati saat datangnya bulan suci ramadhan selain yang telah disebutkan di atas tadi yakni bermunculan symbol-simbol islam dalam setiap produk yang di pasarkan saat bulan suci ramadhan.
B.       Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut.
1.    Bagaimana identifikasi hadits yang menjelaskan tentang sahur?
2.    Bagaimana makna yang terkandung dalam hadits tersebut?
3.    Bagaimana biografi dari tokoh-tokoh perawi hadits tersebut?
4.    Bagaimana pemahaman tentang hadits tersebut?
C.      Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.   Untuk mengetahui hadits yang menjelaskan tentang  sahur.
2.   Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam hadits tersebut.
3.   Untuk mengetahui biografi singkat dari tokoh-tokoh perawi tersebut.
4.   Untuk mengetahui pemahaman hadits tersebut.























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Identifikasi Hadits
عن انس رضي الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم: تَسَحَّرُوْافَاِنَّ فِيْ السُّحُوْرِبَرَكَةً .رواه البخرى مسلم.
B.     Pemaknaan Hadits
1.      Makna lafadz
تَسَحَّر
Bersahurlah
فَاِنّ
Sesungguhnya
السُّحُوْر
Sahur
بَرَكَةً
Berkah
2.      Makna keseluruhan
Dari anas ia berkata:” Bersabdalah  Rasulullah saw. Bersahurlah kalian karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah ( HR.Bukhori Muslim).
C.    Biografi Perawi Hadits
1.      Dalam Kalangan Sahabat
a.       Anas bin Malik
Biografi Anas bin Malik bin Nadhar bin Dhamdan bin junbuddin Amir bin Ghanam bin Ady bin Najjar. Beliau biasa di panggil Abu Hamzah Al Anshari, Al khasraji, dan di gelari sebagai  pembantu atau pelayan Rasulullah saw. Beliau di lahirkan di Yatsrib (madinah) tahun 8 sebelum hijrah bertepatan pada tahun 612 M. Ibunya menitipkannya kepada rasulullah saw untuk menjadi pembantu beliau. Saat itu anas baru berusia 10 tahun. Ibunya mengatakan kepada Nabi “Aku titipkan anakku kepadamu dan dia adalah anak yang pandai menulis”. Ibunya memohon kepada nabi agar anaknya di jadikan sebagai pembantu beliau dan memohon untuk di doakan beliau. Rasulullah lalu berdoa untuk Anas “ Ya allah, perbanyaklah harta dan anaknya dab berkahilah apa apa yang engkau anugrahkan kepadanya.”(HR. Al –bukhori dan muslim). Anas bin malik memiliki 100 anak. Anak berkata demi allah hartaku sangat sangat melimpah, sampai kurma dan anggurku berbuah dua kali dalam setahun. Jumlah anak anak dan cucu cucuku mencapai seratus enam Dalam riwayat lain juga di sebutkan dari anak perempuannya aminah, mengabarkan tentang anak beliau yang mati dan di kuburkan saja itu mencapai 120 anak, selain cucunya, itu pada saat hajjaj berkuasa di basrah. Berkat doa rasulullah saw, Anas menjadi sahabat  yang paling banyak anak anaknya serta paling paling panjang umurnya serta paling akhir meninggal dunia.
2.      Perawi Hadits Terakhir
a.       Al- Bukhori
Al- Bukhori lahir di 13 syawal 194H (21 Juli 810), atau lebih di kenal Imam Bukhori adalah ahli hadis yang termansyur di antara para ahli hadis sejak dulu hingga kini bersama dengan imam muslim,Abu Daud, Tirmidzi,An nashai dan Ibnu Majah. Bahkan dalam buku buku figih dan hadis, hadis hadisnya memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadis (pemimpin orang orang yang beriman dan hal ilmu hadis). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
b.      Imam Muslim
Imam Muslim di lahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam muslim bernama lengkap Imam Abul Husain muslim bin hajjaj bin muslim bin kausyas al qushairi, yang sekarang ini termasuk wilayah dalam sebutan nama wara’a an nahr, Artinya daerah daerah yang terletak di sekitar sungai jihun di Uzbekistan, asia tengah. Pada masa dinasti samanid,Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdangangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti hanya Baghdad di ababd pertengahan, Naisabur, juga Bukhara( kota kelahiran imam bukhori) sebagai salah satu ilmu dan pusat peradaban di kawasan asia tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.perhatian dan minat imam muslim terhadap ilmu hadis memang luar biasa.
D.    Pemahaman Hadits
1.      Makna Sahur
Sahur adalah makanan yang di makan pada waktu sahar. Sahar menurut bahasa ialah nama bagi akhir suku malam dan permulaan suku siang malam dan permulaan suku siang lawannya ialah Ashir suku siang.
Menurut Az –Zamkhsyari, di namai waktu sahar dengan sahar karena ia adalah waktu berlakunya malam dan datangnya siang. Dengan demikian, jelaslah bahwa sahar bukanlah satu atau dua jam sebelum satu atau dua jam sebelum terbit fajar, namun yang di maksud adalah nama waktu pergantian siang dan malam.
Jadi apabila kita makan kita makan pada jam 24.00 (jam 12 malam) atau sedikit setelah itu tidaklah dapat di namakan “Bersaur (mengerjakan makan saur).
2.      Hukum Sahur
انس رضي الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم : تَسَحَّرُوْافَاِنَّ فِيْ السُّحُوْرِبَرَكَةً مُتَفَقٌ عَلَيْه
                        Artinya:
Dari Anas bin malik r.a, ia berkata berkata” Bersabda rasulullah saw” sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam saur ada keberkahan.” (HR.Bukhori muslim).
3.      Keraguan tentang waktu sahur
Bila seseorang ragu apakah telah habis waktu ataukah belum, maka ia diperbolehkan makan dan minum hingga nyata nyata baginya bahwa waktu sahur telah habis dan masuk waktu shubuh.[1]
4.      Hikmah saur
Diriwatkan oleh Ahmad dari Abu sa’id bahwa Nabi saw bersabda:
اَلسَحُوْرَ أَكُلُهُ بَرَكَةَ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةَ منْ مَاء  فَان اَللهَ وَمَلاَئكَتَهُ يُصَلوْنَ عَلَى اْلمُتَسَحُريْنَ احمد
Artinya:
Umat saya selalu dalam kebaikan, selama mereka segera berbuka dan mengakhirkan saur.
Saur itu suatu berkah. Maka janganlah kamu meninggalkannya, walaupun hanya dengan seteguk air, karena sesungguhnya allah dan malaikatnya bershalawat atas orang orang yang bersaur.(HR.Ahmad)
Adapun tentang sunnatnya mengakhirkan sahur karena di dalam hadis terdapat riwayat
ان تَاْ خيْرَا لسُحُوْر منْ سُنَن المُرْسَليْنَ            
Artinya:
“Sesungguhnya mengakhirkan sahur itu termasuk sunnah para rasul”
Hadis ini diriwayatkan oleh ibnu Hibban dalam kitab sahihnya. Kemudian di dalam suatu hadis, tersebut juga riwayat bahwa nabi saw.bersabda
لاَتَزَالُ اُمتيْ بخَيْر مَاعَجلُوْاالْفطْرَ وَاَخرُوْاا لْسُحُوْرَ      
Artinya:
“Umat saya selalu dalam kebaikan, selama selama mereka berbuka dan mengakhirkan sahur”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab musnadnya. Lagi pula, mengakhirkan sahur itu mengandung hikmah, yaitu agar kita kuat menjalani ibadah puisi.
Dan juga patut di ketahui bahwa sunatnya sahur itu sudah merupakan ijma pada ulama, dan kesunatan itu sudah diperboleh walau dengan makan sedikit atau minum air. Dalam kitab sahih Ibnu Hibban terdapat hadist yang menyatakan
تَسَحرُوْا وَلَوْ بحُرْعَة مَاء           
Artinya:
“sahurlah walau dengan seteguk air”
Hadist ini juga disebutkan oleh Imam Nawami dalam kitabnya syarah muhazzab. Adapun waktu sahur ialah tengah malam(malam sudah dapat separuh). Demikian yang di sebutkan oleh Imam Rofi’i pada iman yang akhir[2]
Sahur memungkinkan tertinggalnya sisa sisa makanan di mulut. Sekurang kurangnya terdapat dua  tinjauan terkait dengan sisa sisa sahur itu. Pertama yang melekat pada sela sela gigi. Ada yang tidak dapat di cegah masuk ke dalam tenggorokan ada yang dapat di cegah. Kedua berkaitan dengan besarnya sisa makanan sahur di sela sela gigi itu.

Pertama, jika sisa makanan sahur itu tidak dapat di cegah masuk ke dalam kerongkongan bersama air ludah, hal itu tidak dapat membatlkan puasa. Jika makanan sahur tidak dapat di rasakan dan masuk bersama air ludah sampai ke kerongkongan, hal tersebut membatalkan puasa dan mewajibkan qadha’, jika sisa makanan belum sampai ke tenggorokan, hal itu tidak membatalkan puasa. Imam –Ramli menyatakan bahwa jika masuknya makanan sisa saur itu  bisa di rasakan, terapi tidak dapat di cegah masuknya karena proses sebab tersebut, antara lain adalah  tersedak, kaget, berdiri mendadak, mengeluarkan ludah yang banyak karena bau makanan sedap, atau tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dari pada perut. Tentang hal hal yang dapat di cegah atau tidak dapat di kendalikan ini, para ulama mendasarkan pada beberapa hadis Rasulullah saw, antara lain:
                        Sesungguhnya Allah meletakkan (tuntutan) dari umatku (apabila):salah, lupa, dan adanya hal hal yang memaksa. (HR Ibnu majah dari ibnnu abbas r.a) Al –Albani menyatakan hadis ini sholeh.
                         Imam Ar- Ramli memberikan catatan bahwa jika sisa itu sudah bercampur dengan ludah, hal itu tidak membatalkan puasa karena sudah sulit untuk di kendalikan. Syekh Al- Malyabari dalam fathul Mu’in memberikan catatan, asal ludah bersama sisa sahur terlarut di dalammya dan masuk ke dalam kerongkongan secara alamiah. Maksudnya, bukan karena di isap. Jika bisa di pisahkan antara sisa sisa sahur dan air ludah, orang yang berpuasa hendaknya tidak menelannya. Melainkan segera mengeluarkannya karena jika memasuki kerongkongan dapat membatalkan puasa.
            Jika yang masuk itu sisa sisa makanannya, melainkan rasa atau baunya dan tidak dapat di hindarkan, hal itu tidak membatalkan puasa. Demikian di dalam kitab Raddul Mukhtar, salah satu kitab rujukan mazhab Hanafi. Penjelasan yang sama kita dapatkan  dalam kitab rujukan mazhab Syafi’i, Asnal Mathalib dan Fathul Mu’in. Kitab terakhir ini memberikan catatan, asal ludah bersama sisa sahur terlarut di dalammya.
Kedua, berkaitan dengan besarnya sisa makanan itu. Dalam hal ini terdapat dua kategori ukuran, yaitu sebesar biji merica atau lada dan yang kurang dari sebiji merica. Ada yang menyebutkan ukuran kacang kedelai sebagi patokan. Jika sisa sisa itu sebesar sebiji merica, hal ini membatalkan puasa, baik kita dalam keadaan dapat maupun tidak dapat mengendalikannya. Para ulama Mazhab Hanbali bahwa jika besarnya tidak mencapai sebiji merica, tetapi orangnya tidak dapat mengendalikan, hukumnya adalah makruh. Jika sebenarnya orang itu dapat mengendalikannya. Tetapi terlanjur masuk ke kerongkongan, puasanya batal dan ia wajib meng-qadha’.
            As-Sarkhasyi, salah satu ulama mazhab Hanafi, di dalam kitab Al-Mabsuth, menyatakan bahwa jika besarnya sisa makanan kurang dari sebiji merica dan tidak dapat di kendalikan, tidak mebatalkan puasa. Imam-Rabi’ dalam kitab Imam-Syaf’i’i. Al- Umm, menyatakan bahwa jika besarnya sisa makanan tidak mencapai sebiji merica dan orang yang berpuasa itu menyadari, tetapi tidak dapat mencegahnya, hukumya makruh.
            As-Sarkhasyi menyatakan bahwa jika besar sisa makanan itu kurang dari sebiji merica dan orang itu sebenarnya bisa mencegah masuknya, puasanya batal begitu sisa tadi memasuki kerongkongan. Wajib atas orang itu untuk melaksnaakna qadha’ atas puasanya.
            Dari tinjauan- tinjauan yang telah di paparkan di atas, menelan makanan  sahur sebisa mungkin di hindarkan. Jika besarnya makanan ukuran biji merica atau lada dapat membatalkan puasa jika masuk sampai ke tenggorokan dan hal tersebut mewajibkan seseorang untuk meng-qadha’ puasanya. Jika sampai batal, orang tersebut wajb imsak atau menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sampai terbenam matahari dan puasa hari itu tidak di perhitungkan sebagai puasa. Jika sisa itu lebih kecil dari merica, hukum menelannya adalah makruh meskipun karena terlanjur masuk (tidak sengaja). Jika sisa makanan karut ke dalam air ludah dan masuk dengan tidak terasa bersama ludah, puasa seorang tidak batal karenanya.[3]
Mengakhirkan Saur
            Di sunnahkan mengakhirkan saur sesaaat sebelum fajar, karena nabi saw dan Zaid bin Tsabit r.a melakukan saur, ketika selesai makan saur nabi saw bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) anatara saur dan masuknya sholat kira kira lamanya seorang membaca lima puluh ayat di kitabullah.
Anas r.a meriwayatkan dari Zaid bin Tzabit r.a
“kami makan saur bersama rasulullah saw kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas) karena dan malaikatnya besholawat kepda orang orang yang shur (telah lewat takhrijnya).[4]
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb yang maha pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdal adalah korma.[5]



  






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Sahur adalah makan pada dini hari (di sunnahkan menjelang fajar sebelum subuh) bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Dan di dalam saur itu terdapat berkah makannya
B.       Saran
Makalah ini dapat digunakan oleh mahasiswa yang ingin mengetahui tentang hadits yang berkaitan dengan materi tentang saur. Oleh karena keterbatasan pengetahuan, maka penulis menyarankan kepada pembaca untuk mencari hadits-hadits tersebut di kitab hadits aslinya. Selain itu, penulis mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembaca untuk menyempurnakan dalam penulisan makalah ini.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Jamal, Ibrahim muhammad. fiqih muslimah. jakarta: Pustaka Amani,1995.
Al-husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar. Kifayatul Akhyar. Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997.
Mardani,  hadist ahkam, jakarta:PT rajaGrafindo persada, 2012
Nafi’, Dian. fiqih puasa untuk remaja. jakarta: PT tiga seangkai pustaka mandiri,
2010.





[1] Dian Nafi’, Fiqih Puasa Untuk Remaja, (Jakarta: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010), hlm. 207.
[2] Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), hlm. 421.
[3] Dian Nafi’, fiqih puasa untuk remaja, (jakarta: PT tiga seangkai pustaka mandiri, 2010), hlm. 210
[4] Ibrahim muhammad al-jamal, fiqih muslimah, (jakarta: Pustaka Amani,1995)’ hlm.163
[5] Mardani,  hadist ahkam, (jakarta:PT rajaGrafindo persada,2012),hlm.153